SEJARAH pahit masa lalu kita, Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) jatuh ke tangan Malaysia, merupakan potret buram bangsa Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak kedaulatan bangsa dan integritas teritorial di dunia internasional. Potret buram ini tidak boleh berulang untuk kali kedua. Karena itu, menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah kewajiban bagi semua bangsa Indonesia.
Kini kita dikagetkan kembali oleh pemberitaan berbagai media massa yang memuat persoalan wilayah perairan yang telah menjadi sengketa antara kedua negara, Indonesia dan Malaysia. Wilayah yang disengketakan tersebut tidak lain adalah di kawasan Ambalat, sebelah timur kepala Pulau Kalimantan, yang juga masih di perairan Laut Sulawesi. Negara Jiran itu tiba-tiba mengklaim wilayah Indonesia merupakan wilayah perairan mereka.
Klaim Malaysia itu muncul setelah Petronas (perusahaan minyak nasional pemerintah Malaysia), pada 16 Februari lalu memberikan konsesi eksplorasi minyak dan gas lepas pantai di blok Ambalat kepada perusahaan multinasional Shell. Padahal sudah menjadi rahasia umum, perairan tersebut masih merupakan wilayah perairan Indonesia. Pemerintah Indonesia juga telah memberikan konsesi di wilayah yang sama kepada ENI (Italia) pada tahun 1999 dan Unocal (AS) di tahun 2004. Akhirnya, ketegangan antara kedua belah pihak tidak bisa dihindari.
Kekagetan ini kiranya cukup argumentatif sebab selama ini persoalan Ambalat tidak pernah menjadi sengketa (dispute) antara kedua negara anggota ASEAN itu. Bahkan selama ini pula negara yang baru saja selesai memberikan amnesti terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) itu tidak pernah mengklaim wilayah tersebut sebagai teritorial mereka. Oleh karena itulah, Blok East Ambalat tegas-tegas merupakan wilayah Indonesia.
Di sinilah kekagetan dan kecurigaan kita menemukan dalil sahihnya. Apalagi pernyataan PM. Malaysia Abdullah Badawi yang mengklaim Ambalat adalah wilayah Malaysia hanya didasarkan kepada alasan bahwa Petronas sudah melakukan eksplorasi di wilayah itu. Alasan ini tentunya sangat tidak bisa diterima sebab sama sekali tidak logis.
Sikap Tegas
Bersikap tegas terhadap Malaysia dalam persoalan sengketa Pulau Ambalat dan Ambalat Timur kiranya merupakan pilihan relevan yang harus direalisasikan sampai kapan pun. Hal ini menjadi urgen jika kita tidak ingin sejarah buram jatuhnya Pulau Sipadan dan Ligitan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) ke tangan Malaysia terulang kembali dalam konteks kekinian.
Sikap tegas kita adalah sebuah keniscayaan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Sikap tegas ini tidak hanya diperlukan dalam persoalan sengketa Pulau Ambalat saja. Di pulau-pulau terpencil di wilayah perbatasan pun perlu diprioritaskan digelar kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pilihan ini semata-mata untuk menjaga kedaulatan kita sebagai sebuah bangsa yang telah merdeka sejak 17 Agustus 1945 silam. Kita kaya akan pulau-pulau terpencil yang harus kita jaga secara ketat dan berkesinambungan.
Bila pulau-pulau kecil itu tidak kita jaga secara baik, orang lain akan masuk dengan seenaknya. Cepat atau lambat, seiring dengan bergulirnya waktu, mereka akan mengklaim secara de facto wilayah itu sebagai milik mereka.
Itulah yang sebenarnya terjadi dengan kasus Sipadan dan Ligitan tahun 2002 dulu. Satu-dua orang asing mulai masuk ke sana karena dirasa baik dan patroli dari pihak kita pun tidak pernah dilakukan. Hal itu terjadi sejak zaman kolonial. Padahal di zaman kolonial, Sipadan dan Ligitan merupakan bagian wilayah Hindia Belanda, Indonesia (Theo L Sambuaga, 2005).
Kiranya sudah tepat apa yang dilakukan oleh TNI AL dan AU yang meningkatkan patroli laut dan udara dengan mengerahkan tiga kapal perang TNI AL serta dua pesawat intai Nomad di kawasan Ambalat itu. Bahkan Kepala Staf Gugus Tempur Laut Armada Kawasan Timur (Guspurlatim) Kol (P) Marsetio menegaskan, Guspurlatim telah menyiagakan tujuh kapal perang berbagai kelas untuk menjaga kedaulatan RI di perairan Tanjung Unarang hingga Blok Ambalat dan Bukat di Laut Sulawesi yang diklaim sepihak oleh Malaysia .
Tujuh kapal perang yang dimaksud adalah KRI Singa, KRI Tongkol, dan KRI KS Tubun, KRI Nuku, KRI Wiratno, dan KRI Rencong serta ditambah KRI lain yang belum ditentukan sebab baru akan tiba Senin pagi (Media Indonesia, 7/3).
Beberapa kapal perang itu juga bertugas mengawal pemasangan rambu mercu suar di perairan Karang Unarang yang diklaim Malaysia, di kawasan perairan tersebut yang beberapa waktu yang lalu dihentikan. Penjagaan pemasangan rambu mercu suar penting dilakukan sebab pada Januari lalu pekerja dari CV Azza ditangkap dan dianiaya oleh tentara Malaysia saat memasang rambu suar atas pesanan Dephub RI. Merupakan tugas negara dalam hal ini TNI untuk menjaga kedaulatan serta warga negaranya.
Seandainya kapal-kapal Malaysia masih bandel, maka TNI AL dan AU harus tegas menjaga kedaulatan wilayah RI. Tidak ada sejengkal wilayah Indonesia yang harus lepas dan jatuh ke tangan pihak asing. Itu adalah hak kita yang sejatinya kita jaga dan perjuangkan.
Diplomasi
Selama ini pemerintah Indonesia dan Malaysia masih tetap menomorsatukan semangat ASEAN dalam penyelesaian sengketa wilayah Ambalat tersebut. Sikap tegas pemerintah Indonesia tidak harus berarti kontak fisik atau perang. Namun jika masih memungkinkan perlu ditempuh melalui jalur diplomasi di meja perundingan yang lebih arif. Hal ini sesuai dengan keinginan kedua belah pihak yang telah menyatakan agar masalah mereka diselesaikan lewat jalur diplomatik sehingga tidak menambah ketegangan antar-keduanya.
Sebagai sesama anggota ASEAN dan juga kawasan serumpun, tentunya kita menyambut baik semangat keakraban dalam penyelesaiannya itu. Apalagi ketegangan di perairan itu yang melibatkan tentara kedua negara juga bukan satu-satunya solusi mutlak untuk menyelesaikannya.
Namun demikian, dalam hal ini kita juga harus mengingatkan pemerintah agar tetap bersikap tegas terhadap pemerintah Malaysia. Tidak hanya di perairan yang disengketakan, tapi juga di meja diplomatik untuk menegaskan bahwa kawasan tersebut adalah wilayah kita, bangsa Indonesia.
Dalam konteks kasus Ambalat ini, jika dialog betul-betul dilaksanakan, maka hal itu harus dalam pengertian bahwa Ambalat adalah bagian wilayah NKRI yang mesti kita dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Di meja diplomasi, kita pertegas bahwa wilayah itu milik kita. Bukan milik mereka seperti yang telah diklaim selama ini.
Klaim dan tindakan Malaysia masuk ke Ambalat sangat kentara telah melanggar kedaulatan Republik Indonesia. Meski apa pun alasannya, Malaysia tidak memiliki hak sama sekali dalam memberikan konsesi apa pun kepada siapa pun di wilayah tersebut. Karena wilayah itu adalah bukan milik mereka.
Sebagai cacatan penutup, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) ke Malaysia itu harus menjadi pelajaran berharga dalam sejarah bangsa Indonesia yang tidak boleh terjadi kembali. Kita tentunya tidak rela bila kejadian menyedihkan itu terulang kembali pada kasus sengketa Pulau Ambalat ini. Segala sesuatu, termasuk Pulau Ambalat, yang menjadi milik kita bersama sebagai sebuah bangsa Indonesia harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.SEJARAH pahit masa lalu kita, Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) jatuh ke tangan Malaysia, merupakan potret buram bangsa Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak kedaulatan bangsa dan integritas teritorial di dunia internasional. Potret buram ini tidak boleh berulang untuk kali kedua. Karena itu, menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah kewajiban bagi semua bangsa Indonesia.
Kini kita dikagetkan kembali oleh pemberitaan berbagai media massa yang memuat persoalan wilayah perairan yang telah menjadi sengketa antara kedua negara, Indonesia dan Malaysia. Wilayah yang disengketakan tersebut tidak lain adalah di kawasan Ambalat, sebelah timur kepala Pulau Kalimantan, yang juga masih di perairan Laut Sulawesi. Negara Jiran itu tiba-tiba mengklaim wilayah Indonesia merupakan wilayah perairan mereka.
Klaim Malaysia itu muncul setelah Petronas (perusahaan minyak nasional pemerintah Malaysia), pada 16 Februari lalu memberikan konsesi eksplorasi minyak dan gas lepas pantai di blok Ambalat kepada perusahaan multinasional Shell. Padahal sudah menjadi rahasia umum, perairan tersebut masih merupakan wilayah perairan Indonesia. Pemerintah Indonesia juga telah memberikan konsesi di wilayah yang sama kepada ENI (Italia) pada tahun 1999 dan Unocal (AS) di tahun 2004. Akhirnya, ketegangan antara kedua belah pihak tidak bisa dihindari.
Kekagetan ini kiranya cukup argumentatif sebab selama ini persoalan Ambalat tidak pernah menjadi sengketa (dispute) antara kedua negara anggota ASEAN itu. Bahkan selama ini pula negara yang baru saja selesai memberikan amnesti terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) itu tidak pernah mengklaim wilayah tersebut sebagai teritorial mereka. Oleh karena itulah, Blok East Ambalat tegas-tegas merupakan wilayah Indonesia.
Di sinilah kekagetan dan kecurigaan kita menemukan dalil sahihnya. Apalagi pernyataan PM. Malaysia Abdullah Badawi yang mengklaim Ambalat adalah wilayah Malaysia hanya didasarkan kepada alasan bahwa Petronas sudah melakukan eksplorasi di wilayah itu. Alasan ini tentunya sangat tidak bisa diterima sebab sama sekali tidak logis.
Sikap Tegas
Bersikap tegas terhadap Malaysia dalam persoalan sengketa Pulau Ambalat dan Ambalat Timur kiranya merupakan pilihan relevan yang harus direalisasikan sampai kapan pun. Hal ini menjadi urgen jika kita tidak ingin sejarah buram jatuhnya Pulau Sipadan dan Ligitan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) ke tangan Malaysia terulang kembali dalam konteks kekinian.
Sikap tegas kita adalah sebuah keniscayaan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Sikap tegas ini tidak hanya diperlukan dalam persoalan sengketa Pulau Ambalat saja. Di pulau-pulau terpencil di wilayah perbatasan pun perlu diprioritaskan digelar kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pilihan ini semata-mata untuk menjaga kedaulatan kita sebagai sebuah bangsa yang telah merdeka sejak 17 Agustus 1945 silam. Kita kaya akan pulau-pulau terpencil yang harus kita jaga secara ketat dan berkesinambungan.
Bila pulau-pulau kecil itu tidak kita jaga secara baik, orang lain akan masuk dengan seenaknya. Cepat atau lambat, seiring dengan bergulirnya waktu, mereka akan mengklaim secara de facto wilayah itu sebagai milik mereka.
Itulah yang sebenarnya terjadi dengan kasus Sipadan dan Ligitan tahun 2002 dulu. Satu-dua orang asing mulai masuk ke sana karena dirasa baik dan patroli dari pihak kita pun tidak pernah dilakukan. Hal itu terjadi sejak zaman kolonial. Padahal di zaman kolonial, Sipadan dan Ligitan merupakan bagian wilayah Hindia Belanda, Indonesia (Theo L Sambuaga, 2005).
Kiranya sudah tepat apa yang dilakukan oleh TNI AL dan AU yang meningkatkan patroli laut dan udara dengan mengerahkan tiga kapal perang TNI AL serta dua pesawat intai Nomad di kawasan Ambalat itu. Bahkan Kepala Staf Gugus Tempur Laut Armada Kawasan Timur (Guspurlatim) Kol (P) Marsetio menegaskan, Guspurlatim telah menyiagakan tujuh kapal perang berbagai kelas untuk menjaga kedaulatan RI di perairan Tanjung Unarang hingga Blok Ambalat dan Bukat di Laut Sulawesi yang diklaim sepihak oleh Malaysia .
Tujuh kapal perang yang dimaksud adalah KRI Singa, KRI Tongkol, dan KRI KS Tubun, KRI Nuku, KRI Wiratno, dan KRI Rencong serta ditambah KRI lain yang belum ditentukan sebab baru akan tiba Senin pagi (Media Indonesia, 7/3).
Beberapa kapal perang itu juga bertugas mengawal pemasangan rambu mercu suar di perairan Karang Unarang yang diklaim Malaysia, di kawasan perairan tersebut yang beberapa waktu yang lalu dihentikan. Penjagaan pemasangan rambu mercu suar penting dilakukan sebab pada Januari lalu pekerja dari CV Azza ditangkap dan dianiaya oleh tentara Malaysia saat memasang rambu suar atas pesanan Dephub RI. Merupakan tugas negara dalam hal ini TNI untuk menjaga kedaulatan serta warga negaranya.
Seandainya kapal-kapal Malaysia masih bandel, maka TNI AL dan AU harus tegas menjaga kedaulatan wilayah RI. Tidak ada sejengkal wilayah Indonesia yang harus lepas dan jatuh ke tangan pihak asing. Itu adalah hak kita yang sejatinya kita jaga dan perjuangkan.
Diplomasi
Selama ini pemerintah Indonesia dan Malaysia masih tetap menomorsatukan semangat ASEAN dalam penyelesaian sengketa wilayah Ambalat tersebut. Sikap tegas pemerintah Indonesia tidak harus berarti kontak fisik atau perang. Namun jika masih memungkinkan perlu ditempuh melalui jalur diplomasi di meja perundingan yang lebih arif. Hal ini sesuai dengan keinginan kedua belah pihak yang telah menyatakan agar masalah mereka diselesaikan lewat jalur diplomatik sehingga tidak menambah ketegangan antar-keduanya.
Sebagai sesama anggota ASEAN dan juga kawasan serumpun, tentunya kita menyambut baik semangat keakraban dalam penyelesaiannya itu. Apalagi ketegangan di perairan itu yang melibatkan tentara kedua negara juga bukan satu-satunya solusi mutlak untuk menyelesaikannya.
Namun demikian, dalam hal ini kita juga harus mengingatkan pemerintah agar tetap bersikap tegas terhadap pemerintah Malaysia. Tidak hanya di perairan yang disengketakan, tapi juga di meja diplomatik untuk menegaskan bahwa kawasan tersebut adalah wilayah kita, bangsa Indonesia.
Dalam konteks kasus Ambalat ini, jika dialog betul-betul dilaksanakan, maka hal itu harus dalam pengertian bahwa Ambalat adalah bagian wilayah NKRI yang mesti kita dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Di meja diplomasi, kita pertegas bahwa wilayah itu milik kita. Bukan milik mereka seperti yang telah diklaim selama ini.
Klaim dan tindakan Malaysia masuk ke Ambalat sangat kentara telah melanggar kedaulatan Republik Indonesia. Meski apa pun alasannya, Malaysia tidak memiliki hak sama sekali dalam memberikan konsesi apa pun kepada siapa pun di wilayah tersebut. Karena wilayah itu adalah bukan milik mereka.
Sebagai cacatan penutup, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) ke Malaysia itu harus menjadi pelajaran berharga dalam sejarah bangsa Indonesia yang tidak boleh terjadi kembali. Kita tentunya tidak rela bila kejadian menyedihkan itu terulang kembali pada kasus sengketa Pulau Ambalat ini. Segala sesuatu, termasuk Pulau Ambalat, yang menjadi milik kita bersama sebagai sebuah bangsa Indonesia harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/08/opi03.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar