BERIKUT MENGENAI BAHASAN BATAS NEGARA KITA :
RI-Singapura Tandatangani Perjanjian Perbatasan Laut |
|
|
|
Ditulis oleh Hans |
Tuesday, 10 March 2009 17:47 |
Jakarta, NTT Online - Pemerintah Indonesia dan Singapura menandatangi perjanjian perbatasan laut kedua negara di segmen barat. Acara penandatanganan itu dilakukan oleh Menlu RI Hassan Wirajuda dan Menlu Singapura George Yeo di Gedung Pancasila, Departemen Luar Negeri, Jakarta, Selasa. "Perjanjian (yang ditandatangani) ini adalah perjanjian batas laut bagian barat di dekat Tuas-Pulau Nipa," kata Hassan.
Hassan menjelaskan bahwa perjanjian itu adalah perjanjian perbatasan laut kedua yang disepakati oleh kedua negara. "Perjanjian sebelumnya ditandatangani pada 25 Mei 1973," katanya. Menurut Hassan, penandatangan perjanjian itu merupakan cermin dari komitmen kedua negara untuk mematuhi Hukum Laut Internasional. Penandatangan perjanjian batas laut tersebut, kata dia, juga akan mendorong peningkatan kerjasama dwipihak.
Mengingat Indonesia berbatasan dengan sejumlah negara di kawasan maka diplomasi perbatasan merupakan bagian dari upaya untuk menciptakan hubungan bertetangga yang baik. Pada kesempatan itu Menlu juga mengatakan bahwa keberhasilan perundingan perjanjian batas laut segmen barat itu memberikan optimisme penyelesaian perundingan perjanjian batas laut segmen timur sekali pun tidak memberikan tenggat untuk perundingan segmen timur tersebut.
Sementara itu Menlu Singapura mengatakan bahwa seusai proses ratifikasi perjanjian batas laut segmen barat itu maka perundingan batas laut segmen timur akan segera dilakukan. Dengan selesainya batas laut wilayah pada segmen barat itu maka masih terdapat segmen timur 1 dan timur 2 yang perlu dirundingkan. Segmen timur 1 adalah di wilayah Batam-Changi dan segmen timur 2 adalah wilayah sekitar Bintan-South Ledge/Middle Rock/Pedra Branca yang masih menunggu hasil negosiasi lebih lanjut Singapura-Malaysia pasca keputusan ICJ.
Kesepakatan perjanjian batas laut segmen barat itu adalah hasil dari delapan putaran perundingan yang telah dilakukan oleh kedua negara sejak 2005. Penentuan garis batas laut wilayah Indonesia dan Singapura ditetapkan berdasarkan hukum internasional yang mengatur tata cara penetapan batas maritim yakni Konvensi Hukum Laut (Konvensi Hukla) 1982, di mana kedua negara adalah pihak pada konvensi.
Dalam menentukan garis batas laut wilayah itu, Indonesia menggunakan referensi titik dasar (basepoint) Indonesia di Pulau Nipa serta garis pangkal kepulauan Indonesia (archipelagic baseline) yang ditarik dari Pulau Nipa ke Pulau Karimun Besar.
Garis pangkal itu adalah garis negara pangkal kepulauan yang dicantumkan dalam UU No.4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia dan diperbarui dengan PP No.38/2002 dan PP No.37/2008. Penetapan garis batas laut wilayah di segmen barat itu akan mempermudah aparat keamanan dan pelaksanaan keselamatan pelayaran dalam bertugas di Selat Singapura karena terdapat kepastian hukum tentang batas-batas kedaulatan kedua negara.
KOMISI I DPR RI HARUS PRIORITASKAN BATAS LAUT TIMOR
9 Maret 2010 12:34 WIB Kunjungan kerja Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sejak tanggal 8 Maret hingga 11 Maret 2010 seharusnya memprioritaskan masalah batas perairan antara Indonesia dan Australia di Laut Timor yang sangat kompleks dan merugikan kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karena kacau balaunya batas landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Australia kekayaan minyak dan gas di Laut Timor yang mencapai 50 miliar barel sebagain besarnya hanya dinikmati oleh Australia dan sebagian kecilnya oleh Timor Timur,sementara Timor Barat dijadikan sebagai penonton yang sering dihibur dengan apa yang dinamakan hibah dari Australia dan dunia.
Padahalnya,Timor Barat sesungguhnya adalah pemilik kekayaan di Laut Timor.Belum lagi perlakukan yang tidak manusiawi oleh aparat Australia terhadap nelayan tradisional Indonesia bahkan tidak sedikit dari mereka yang dengan terpakasa mengorbankan jiwa mereka hanya untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarga mereka. Hal ini dikemukakan Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni kepada pers di Kupang Selasa (9/03) menanggapi kunjungan anggota Komisi I DPR RI ke Kupang.
Bila Komisi I DPR RI kata mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia ini,berani bersuara lantang untuk membatalkan Perjanjian Kerjasama Pertahanan antara RI dan Singapura karena dirasa sangat merugikan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia atau berani bersuara lantang terhadap kasus Ambalat dengan Malaysia,maka sudah seharusnya masalah garis batas landas kontinen dan ZEE antara RI-Australia di laut Timor juga diperlakukan sama. Tanoni mempertanyakan perlakuan yang tidak sama oleh Komisi I DPR RI antara batas RI-Malaysia dan Singapura dibandingkan dengan batas antara Indonesia dan Australia seolah ada suatu perlakuan yang diskriminatif. Bukankah Timor Barat merupakan bagian dari kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia,tanya nya.
Pemerhati masalah Laut Timor ini mengharapkan batas landas kontinen dan ZEE antara Indonesia dan Australia yang dibuat pada 1972 oleh kedua negara, harus ditinjau kembali karena sangat merugikan Indonesia. "Perjanjian 1972 yang mengatur tentang Penetapan Batas Landas Kontinen itu, menggunakan prinsip landas kontinen perpanjangan alamiah (natural prolongation) sehingga harus ditinjau kembali oleh kedua negara," kata Tanoni. Tanoni menjelaskan prinsip landas kontinen perpanjangan alamiah itu untuk meligitimasi argumentasi Australia bahwa Benua Australia dan Pulau Timor terletak dalam dua kontinen yang berbeda, dan palung Timor merupakan representasi fisik bagian utara dari batas landas kontinen Australia, dan telah diratifikasi dengan Undang-Undang oleh kedua negara pada 1977.
Dalam perjanjian tersebut, kata penulis buku "Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta" itu, kedua negara (RI-Australia) mengabaikan prinsip garis tengah (median line) untuk menetapkan batas landas kontinennya di Laut Timor. "Kedua negara menggunakan konsepsi kelanjutan alamiah sehingga batas landas kontinen ditetapkan pada poros kedalaman laut (bathy-metric-axis) di Palung Timor yang mengakibatkan Australia menguasai 85 persen dasar Laut Timor yang kaya raya akan fosil bahan bakar," katanya.
Padahal, tambahnya, fakta geologi dan geomorfologi menunjukkan bahwa Benua Australia dan Pulau Timor berada dalam satu landasan kontinen yang sama yakni landas kontinen Australia dan Palung Timor hanyalah merupakan patahan alamiah biasa saja. Sesuai ketentuan hukum laut internasional dan Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen dan Konvensi Hukum Laut 1982, kata dia, landas kontinen negara pantai minimal 200 mil laut dihitung dari garis-garis pangkal laut wilayahnya.
Namun, tambahnya, jika pantai negara tersebut letaknya berhadapan dengan pantai negara lain seperti halnya Indonesia (Pulau Timor) dan Australia, maka yang berlaku adalah prinsip-prinsip delimitasi dan bukan definisi landas kontinen. "Atas fakta dan dasar inilah, sudah seharusnya batas landas kontinen RI-Australia di Laut Timor ditetapkan pada garis tengah antara garis pangkal laut wilayah Indonesia dan Australia," katanya. Ia menyebutkan pada 1997, pemerintah Indonesia dan Australia menandatangani Perjanjian Batas-Batas Dasar Laut Tertentu dan ZEE di Laut Timor yang hingga saat ini belum juga diratifikasi oleh kedua negara.
Meskipun demikian, kata Tanoni, pemerintah federal Australia telah menggunakan perjanjian tersebut secara tidak manusiawi dengan memberangus para nelayan tradisional Indonesia yang sudah selama kurang lebih 450 tahun secara turun-temurun menjadikan wilayah perairan itu sebagai ladang mata pencaharian. Padahal, katanya, dalam perjanjian yang hanya berisikan 11 pasal itu dengan tegas dinyatakan dalam pasal 11 bahwa "Perjanjian Ini Harus Diratifikasi dan Akan Mulai Berlaku pada tanggal Pertukaran Piagam-Piagam Ratifikasi". Sejak 1999, tambahnya, telah terjadi sebuah perubahan geopolitik yang sangat signifikan di Laut Timor dengan lahirnya sebuah negara berdaulat baru setengah Pulau Timor, Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), sehingga Laut Timor bukan hanya miliknya RI-Australia, tetapi juga Timor Leste.
Konsekuensi logisnya, kata Tanoni, seluruh penetapan batas di Laut Timor yang dibuat antara Indonesia dan Australia maupun antara Australia dan Timor Leste tanpa melibatkan Indonesia, haruslah ditinjau ulang dan dibatalkan kemudian dirundingkan kembali secara trilateral oleh ketiga negara. Pada 2000, Kementerian Luar Negeri Indonesia dan Australia melakukan sebuah pertukaran Nota Diplomatik berdasarkan Ketetapan MPR-RI tentang Pengakuan Hasil Jajak Pendapat Penentuan Nasib Sendiri di Timor Timur. Pertukaran Nota Diplomatgik itu sebagai dasarnya untuk menggugurkan perjanjian kerjasama Celah Timor antara Indonesia dan Australia pada 1989 dan diratifikasi oleh kedua dengan Undang-Undang pada 1992 ketika Timor Timur masih menjadi bagian integral dari NKRI. "Perjanjian Kerjasama Celah Timor ini saja bisa digugurkan dengan sangat mudahnya oleh kedua negara, maka sudah seharusnya perjanjian batas landas kontinen Indonesia-Australia yang diratifikasi pada 1977 juga bisa digugurkan dan dirundingkan kembali secara trilateral bersama Timor Leste," ujar Tanoni.
Dengan mengacu pada berbagai fakta hukum tersebut, ia mengharapkan Presiden SBY dan PM Kevin Rudd segera menyepakati peninjauan kembali permasalahan batas landas kontinen di Laut Timor ini untuk menetapkannya kembali dengan menggunakan prinsip delimitasi yang benar dan adil sesuai dengan menggunakan prinsip-prinsip International yang berlaku demi kesejahteraan bersama.
sumber : http://rohimston.blogspot.com/2010/04/perjanjian-perjanjian-batas-negara.html
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar