Senin : 13 september 2010
pukul 24.00, tepat di pergantian hari....

ini awal hubungan kita...

mungkin ini akhir penantian....
mungkin ini jawaban atas setiap pertanyaan...
mungkin ini akhir pencarian....
mungkin ini adalah jalan dari setiap tikungan...

seperti biasanya....
tak pernah qw merasakan...
apa itu cinta dari sebuah hubungan...
apa qw mati rasa, atau memang jodoh belum qw temukan...

tapi ini berbeda...
qm hadir dengan 1 pesona yg tak pernah qw rasakan...
qm hadir dengan segala semangad yg membangkitkan kehidupan...
qm hadir dengan penuh harapan yg menghapus setiap keputusasaan..

tp, menangislah dia...
mengingat kenangan lama yang menjatuhkan air matanya...
qw tak sanggup melihatnya...
qw tak sanggup berdiam lebih lama...

dan qm pun merasakan apa yg qw rasakan..
arti sebuah cinta....
yang tak pernah qw rasa...
membuat hidup qw berbeda...

ini adalah awal hubungan qt...
semoga akan berjalan indah selamanya.... ^.^

Mengurai Lingkaran Setan Masalah Listrik









Lepas dari krisis ekonomi tampaknya belum dapat membawa bangsa Indonesia bernapas lega, menikmati hidup yang sejahtera, bebas dari berbagai masalah dan tekanan hidup yang berat. Krisis dalam berbagai dimensi masih saja harus kita hadapi.

Dari krisis bahan bakar minyak (BBM) yang membuat kita harus antre atau tidak bisa mendapatkannya untuk berhari-hari, krisis minyak goreng-- sempat ada antrean untuk mendapatkan minyak goreng dari pemerintah--, krisis mini valuta asing-- rupiah sempat tembus Rp12.000 untuk tiap dolar AS pada Agustus 2005-- hingga krisis listrik yang mencapai puncaknya sekarang ini.

Berbagai krisis atau situasi yang dianggap kritis tadi semuanya membuat kita paling tidak merasa tidak nyaman, bahkan untuk sebagian besar masyarakat lain jelas membuat kehidupan semakin berat, aktivitas ekonominya terganggu atau tidak dapat dijalankan sehingga akhirnya masyarakat harus menderita. Krisis listrik sebenarnya tidak perlu terjadi jika berbagai paket kebijakan yang sudah diluncurkan pemerintah diimplementasi dengan baik.

Namun sayangnya pemerintah meskipun sudah meluncurkan paket kebijakan yang terkait dengan pembangunan infrastruktur, bahkan menyelenggarakan Infrastructure Summit secara internasional sampai dua kali di Jakarta, tetap saja tidak dapat menghindari krisis listrik. Bahkan masalah listrik yang semakin berat harus kita hadapi dari tahun ke tahun, mencapai puncaknya sekarang ini, atau bisa lebih buruk?

Oleh karena itulah pemerintah tampaknya pada akhirnya mengambil kebijakan yang keras dengan pengalihan hari kerja industri melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri yang diluncurkan pada 14 Juli 2008 lalu. Padahal kebijakan ini meskipun mungkin dapat mengurangi beban listrik terpakai pada saat-saat tertentu, tetapi berpotensi menimbulkan dampak sampingan yang banyak sehingga jika tidak hati-hati justru akan kontraproduktif.

Masalah Lama

Masalah kekurangan listrik sebenarnya lagu lama Indonesia, yang pada waktu krisis ekonomi--karena keterbatasan anggaran-- tidak mendapatkan prioritas dalam APBN sehingga konsumsi listrik per kapita kita pada tahun 2004 masih sangat rendah, yaitu 478 kwh. Jika dibandingkan dengan negara lain, kita sangat ketinggalan.

Malaysia saja sudah mencapai hampir 6 kali kita atau sebesar 3.166 kwh, Filipina mencapai 597 kwh, Singapura 8.170 kwh, Thailand 1.865 kwh, bahkan Vietnam saja 501 kwh pada tahun yang sama. Ini berarti kondisi kelistrikan Indonesia terburuk dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita. Tingkat konsumsi kita hanya sedikit di atas rata-rata low income countries yang sebesar 375 kwh, namun jauh di bawah rata-rata low middle income countriesyang sebesar 1.243 kwh per kapita pada periode yang sama (Bank Dunia, 2007).

Dengan potret seperti itu, sebenarnya yang dilakukan pemerintah dengan membuat paket kebijakan infrastruktur dan Infrastructure Summit adalah sudah benar. Namun sayangnya pemerintah tidak mampu mengimplementasikan dengan baik berbagai kebijakan tersebut sehingga dapat kita lihat hasilnya, masalah kelistrikan bukannya semakin terurai, tetapi justru semakin kusut. Pada akhirnya kita harus membayar mahal krisis listrik yang parah pada saat ini. Jelas menarik bagi kita untuk menganalisis pihak yang mestinya bertanggung jawab.

Lebih penting lagi adalah mengurai cara mengatasi masalah ini agar dampaknya pada kehidupan masyarakat dan dunia usaha minimal serta menghindari masalah yang tidak terjadi lagi. Tentu Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang memiliki monopoli dalam mendistribusikan listrik pada masyarakat akan lebih banyak menerima kemarahan publik.

Semuanya berhulu pada ketidakmampuan PLN dalam melayani pasokan listrik dengan baik dan mengantisipasi peningkatan permintaan listrik yang semakin tinggi. Namun, kita harus ingat, kemampuan PLN juga terbatas karena terbatasnya anggaran PLN dan kewenangannya. Untuk dapat mengatasi krisis listrik ini jelas perlu anggaran yang besar. Itu di luar kemampuan PLN.

Tentu saja pihak swasta bisa juga membantu pendanaan pembangkit listrik kita dengan berbagai skema yang memungkinkan. Demikian pula jelas bahwa pada akhirnya masalah kurangnya pasokan listrik menjadi tanggung jawab pemerintah. Sayangnya, meskipun pemerintah sudah memiliki paket kebijakan yang bagus, hal itu tidak dapat diimplementasikan dengan baik.

Tentu saja kenaikan harga BBM bisa dijadikan kambing hitam, tetapi tetap saja adalah tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan infrastruktur seperti listrik yang sangat strategis bagi kehidupan bangsa pada saat ini (apalagi negara lain tidak menghadapi krisis listrik seperti kita).

Masalah infrastruktur selama ini tidak menjadi prioritas dalam APBN kita. Padahal setelah ekonomi pulih sejak 2004, keuangan negara sudah semakin ringan bebannya-- meskipun masih berat--sehingga mestinya pemerintah dapat mengalokasikan lebih banyak dana untuk membangun infrastruktur seperti listrik. Krisis pasokan listrik ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memberikan prioritas dalam membenahi masalah kelistrikan.

Masalah fiscal trap yang dikhawatirkan dalam beberapa tahun ini tampaknya sudah menjadi kenyataan. Anggaran pemerintah dari pusat sampai daerah cenderung banyak dialokasikan untuk program yang populis, khususnya mendekati tahun pemilu. Akhirnya anggaran untuk pembangunan seperti infrastruktur (termasuk listrik) ataupun pembangunan sumber daya manusia yang perlu anggaran besar-- tetapi hasilnya tidak langsung kelihatan-- kurang mendapatkan prioritas. Pola itu membuat kita terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan karena praktik itu terus kita lakukan.

Kita harus memutuskan rantai tersebut. Mudah-mudahan pihak-pihak yang memiliki otoritas memiliki cukup wisdom untuk memilih yang terbaik bagi bangsa dan negara ini dalam politik anggaran kita sehingga dapat memutus lingkaran setan tersebut.

sumber : http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/07/17/212/128371/mengurai-lingkaran-setan-masalah-listrik

Teknologi Nuklir Indonesia

Pelatihan: Iptek Nuklir Untuk Meningkatkan Produktifitas Sapi dan Ikan

Serpong-Pusat Kemitraan Teknologi Nuklir (PKTN) BATAN bekerjasama dengan Puspiptek dan Kementerian Riset dan Teknologi menyelenggarakan Pelatihan aplikasi teknik nuklir dibidang peternakan dan perikanan di Gedung DRN-Serpong (4/5/2010), diikuti oleh 80 orang peserta dari masyarakat disekitar kawasan puspiptek Serpong. Acara yang diawali dengan penandatanganan perjanjian kerjasama antara PKTN dengan Puspiptek dihadiri oleh Deputi Pendayagunaan Hasil Litbang dan Pemasyarakatan Iptek Nuklir-BATAN Dr Taswanda Taryo, Deputi Bidang Dinamika Masyarakat-Ristek Prof Dr Carunia Firdausy, Kepala PKTN Ir Ferly Hermana dan Kepala Puspiptek Ir Jeni Ruslan.

Deputi PHLPN Taswanda Taryo dalam sambutannya mengharapkan dengan adanya pelatihan langsung kepada masyarakat mampu menciptakan perilaku yang mandiri sehingga dapat merubah sistem produksi dari tradisional menjadi sistem yang lebih modern. Dan juga diharapkan akan semakin banyak lagi hasil-hasil dari aplikasi teknik nuklir yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Disampaikannya juga bahwa Iptek nuklir selain dimanfaatkan di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan, juga dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, “PLTN merupakan salah satu alternatif dari pemakaian energi untuk kepentingan kita yang saat ini menghadapi krisis energi sekaligus memberikan solusi untuk generasi yang akan datang”, imbuhnya. Dibidang kesehatan Batan memproduksi radioisotop dan radiofarmaka.

Sementara itu Deputi Bidang Dinamika Masyarakat-Ristek Carunia Firdausy menyampaikan bahwa Kementerian Ristek saat ini mempunyai kegiatan membangun masyarakat berbudaya Iptek untuk itu KemenRistek mendukung kegiatan Batan terkait pelaksanaannya. “membangun masyarakat berbudaya iptek itu mudah diucapkan tetapi susah dilaksanakan,” ujar Carunia, “sulit dilaksanakan karena kita terpaku dengan teknologi-teknologi yang sudah kita miliki, kita sulit untuk menerima perubahan-perubahan teknologi seperti teknik nuklir, ” imbuhnya. Disampaikannya juga bahwa selain pemanfaatan dibidang kesehatan dan yang sekarang sedang diperbincangkan PLTN, Iptek Nuklir juga ternyata mempunyai manfaat yang luar biasa dalam meningkatkan produktifitas dari sapi maupun ikan.

Kegiatan yang akan berakhir pada hari Rabu, 5 Mei 2010 ini diisi dengan pemberian pelatihan oleh Dra Adria Prilianti dengan materi teknik penjantanan ikan dan kiat pacu produksi, Dra Jenny Mediani dengan materi Teknologi Pakan dan Manajemen Pemberian Pakan, Ir Suharyono dengan materi Manajemen Peternakan Sapi, Nana Mulyana dengan materi teknologi pengolahan limbah, dan Ir Marapada dengan materi Analisa Bisnis.


sumber : http://www.batan.go.id/view_news.php?id_berita=1028&db_tbl=Berita

PERJANJIAN-PERJANJIAN BATAS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERIKUT MENGENAI BAHASAN BATAS NEGARA KITA :


RI-Singapura Tandatangani Perjanjian Perbatasan Laut



Ditulis oleh Hans
Tuesday, 10 March 2009 17:47
Jakarta, NTT Online - Pemerintah Indonesia dan Singapura menandatangi perjanjian perbatasan laut kedua negara di segmen barat. Acara penandatanganan itu dilakukan oleh Menlu RI Hassan Wirajuda dan Menlu
Singapura George Yeo di Gedung Pancasila, Departemen Luar Negeri, Jakarta, Selasa.
"Perjanjian (yang ditandatangani) ini adalah perjanjian batas laut bagian barat di dekat Tuas-Pulau Nipa," kata Hassan.

Hassan menjelaskan bahwa perjanjian itu adalah perjanjian perbatasan laut kedua yang disepakati oleh kedua negara. "Perjanjian sebelumnya ditandatangani pada 25 Mei 1973," katanya.
Menurut Hassan, penandatangan perjanjian itu merupakan cermin dari komitmen kedua negara untuk mematuhi Hukum Laut Internasional.
Penandatangan perjanjian batas laut tersebut, kata dia, juga akan mendorong peningkatan kerjasama dwipihak.

Mengingat Indonesia berbatasan dengan sejumlah negara di kawasan maka diplomasi perbatasan merupakan bagian dari upaya untuk menciptakan hubungan bertetangga yang baik.
Pada kesempatan itu Menlu juga mengatakan bahwa keberhasilan perundingan perjanjian batas laut segmen barat itu memberikan optimisme penyelesaian perundingan perjanjian batas laut segmen timur sekali pun tidak memberikan tenggat untuk perundingan segmen timur tersebut.

Sementara itu Menlu Singapura mengatakan bahwa seusai proses ratifikasi perjanjian batas laut segmen barat itu maka perundingan batas laut segmen timur akan segera dilakukan.
Dengan selesainya batas laut wilayah pada segmen barat itu maka masih terdapat segmen timur 1 dan timur 2 yang perlu dirundingkan.
Segmen timur 1 adalah di wilayah Batam-Changi dan segmen timur 2 adalah wilayah sekitar Bintan-South Ledge/Middle Rock/Pedra Branca yang masih menunggu hasil negosiasi lebih lanjut Singapura-Malaysia pasca keputusan ICJ.

Kesepakatan perjanjian batas laut segmen barat itu adalah hasil dari delapan putaran perundingan yang telah dilakukan oleh kedua negara sejak 2005.
Penentuan garis batas laut wilayah Indonesia dan Singapura ditetapkan berdasarkan hukum internasional yang mengatur tata cara penetapan batas maritim yakni Konvensi Hukum Laut (Konvensi Hukla) 1982, di mana kedua negara adalah pihak pada konvensi.

Dalam menentukan garis batas laut wilayah itu, Indonesia menggunakan referensi titik dasar (basepoint) Indonesia di Pulau Nipa serta garis pangkal kepulauan Indonesia (archipelagic baseline) yang ditarik dari Pulau Nipa ke Pulau Karimun Besar.

Garis pangkal itu adalah garis negara pangkal kepulauan yang dicantumkan dalam UU No.4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia dan diperbarui dengan PP No.38/2002 dan PP No.37/2008.
Penetapan garis batas laut wilayah di segmen barat itu akan mempermudah aparat keamanan dan pelaksanaan keselamatan pelayaran dalam bertugas di Selat Singapura karena terdapat kepastian hukum tentang batas-batas kedaulatan kedua negara.



KOMISI I DPR RI HARUS PRIORITASKAN BATAS LAUT TIMOR




9 Maret 2010 12:34 WIB
Kunjungan kerja Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sejak tanggal 8 Maret hingga 11 Maret 2010 seharusnya memprioritaskan masalah batas perairan antara Indonesia dan Australia di Laut Timor yang sangat kompleks dan merugikan kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Karena kacau balaunya batas landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Australia kekayaan minyak dan gas di Laut Timor yang mencapai 50 miliar barel sebagain besarnya hanya dinikmati oleh Australia dan sebagian kecilnya oleh Timor Timur,sementara Timor Barat dijadikan sebagai penonton yang sering dihibur dengan apa yang dinamakan hibah dari Australia dan dunia.

Padahalnya,Timor Barat sesungguhnya adalah pemilik kekayaan di Laut Timor.Belum lagi perlakukan yang tidak manusiawi oleh aparat Australia terhadap nelayan tradisional Indonesia bahkan tidak sedikit dari mereka yang dengan terpakasa mengorbankan jiwa mereka hanya untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarga mereka. Hal ini dikemukakan Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni kepada pers di Kupang Selasa (9/03) menanggapi kunjungan anggota Komisi I DPR RI ke Kupang.

Bila Komisi I DPR RI kata mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia ini,berani bersuara lantang untuk membatalkan Perjanjian Kerjasama Pertahanan antara RI dan Singapura karena dirasa sangat merugikan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia atau berani bersuara lantang terhadap kasus Ambalat dengan Malaysia,maka sudah seharusnya masalah garis batas landas kontinen dan ZEE antara RI-Australia di laut Timor juga diperlakukan sama. Tanoni mempertanyakan perlakuan yang tidak sama oleh Komisi I DPR RI antara batas RI-Malaysia dan Singapura dibandingkan dengan batas antara Indonesia dan Australia seolah ada suatu perlakuan yang diskriminatif. Bukankah Timor Barat merupakan bagian dari kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia,tanya nya.

Pemerhati masalah Laut Timor ini mengharapkan batas landas kontinen dan ZEE antara Indonesia dan Australia yang dibuat pada 1972 oleh kedua negara, harus ditinjau kembali karena sangat merugikan Indonesia. "Perjanjian 1972 yang mengatur tentang Penetapan Batas Landas Kontinen itu, menggunakan prinsip landas kontinen perpanjangan alamiah (natural prolongation) sehingga harus ditinjau kembali oleh kedua negara," kata Tanoni. Tanoni menjelaskan prinsip landas kontinen perpanjangan alamiah itu untuk meligitimasi argumentasi Australia bahwa Benua Australia dan Pulau Timor terletak dalam dua kontinen yang berbeda, dan palung Timor merupakan representasi fisik bagian utara dari batas landas kontinen Australia, dan telah diratifikasi dengan Undang-Undang oleh kedua negara pada 1977.

Dalam perjanjian tersebut, kata penulis buku "Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta" itu, kedua negara (RI-Australia) mengabaikan prinsip garis tengah (median line) untuk menetapkan batas landas kontinennya di Laut Timor. "Kedua negara menggunakan konsepsi kelanjutan alamiah sehingga batas landas kontinen ditetapkan pada poros kedalaman laut (bathy-metric-axis) di Palung Timor yang mengakibatkan Australia menguasai 85 persen dasar Laut Timor yang kaya raya akan fosil bahan bakar," katanya.

Padahal, tambahnya, fakta geologi dan geomorfologi menunjukkan bahwa Benua Australia dan Pulau Timor berada dalam satu landasan kontinen yang sama yakni landas kontinen Australia dan Palung Timor hanyalah merupakan patahan alamiah biasa saja. Sesuai ketentuan hukum laut internasional dan Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen dan Konvensi Hukum Laut 1982, kata dia, landas kontinen negara pantai minimal 200 mil laut dihitung dari garis-garis pangkal laut wilayahnya.

Namun, tambahnya, jika pantai negara tersebut letaknya berhadapan dengan pantai negara lain seperti halnya Indonesia (Pulau Timor) dan Australia, maka yang berlaku adalah prinsip-prinsip delimitasi dan bukan definisi landas kontinen. "Atas fakta dan dasar inilah, sudah seharusnya batas landas kontinen RI-Australia di Laut Timor ditetapkan pada garis tengah antara garis pangkal laut wilayah Indonesia dan Australia," katanya. Ia menyebutkan pada 1997, pemerintah Indonesia dan Australia menandatangani Perjanjian Batas-Batas Dasar Laut Tertentu dan ZEE di Laut Timor yang hingga saat ini belum juga diratifikasi oleh kedua negara.

Meskipun demikian, kata Tanoni, pemerintah federal Australia telah menggunakan perjanjian tersebut secara tidak manusiawi dengan memberangus para nelayan tradisional Indonesia yang sudah selama kurang lebih 450 tahun secara turun-temurun menjadikan wilayah perairan itu sebagai ladang mata pencaharian. Padahal, katanya, dalam perjanjian yang hanya berisikan 11 pasal itu dengan tegas dinyatakan dalam pasal 11 bahwa "Perjanjian Ini Harus Diratifikasi dan Akan Mulai Berlaku pada tanggal Pertukaran Piagam-Piagam Ratifikasi". Sejak 1999, tambahnya, telah terjadi sebuah perubahan geopolitik yang sangat signifikan di Laut Timor dengan lahirnya sebuah negara berdaulat baru setengah Pulau Timor, Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), sehingga Laut Timor bukan hanya miliknya RI-Australia, tetapi juga Timor Leste.

Konsekuensi logisnya, kata Tanoni, seluruh penetapan batas di Laut Timor yang dibuat antara Indonesia dan Australia maupun antara Australia dan Timor Leste tanpa melibatkan Indonesia, haruslah ditinjau ulang dan dibatalkan kemudian dirundingkan kembali secara trilateral oleh ketiga negara. Pada 2000, Kementerian Luar Negeri Indonesia dan Australia melakukan sebuah pertukaran Nota Diplomatik berdasarkan Ketetapan MPR-RI tentang Pengakuan Hasil Jajak Pendapat Penentuan Nasib Sendiri di Timor Timur. Pertukaran Nota Diplomatgik itu sebagai dasarnya untuk menggugurkan perjanjian kerjasama Celah Timor antara Indonesia dan Australia pada 1989 dan diratifikasi oleh kedua dengan Undang-Undang pada 1992 ketika Timor Timur masih menjadi bagian integral dari NKRI. "Perjanjian Kerjasama Celah Timor ini saja bisa digugurkan dengan sangat mudahnya oleh kedua negara, maka sudah seharusnya perjanjian batas landas kontinen Indonesia-Australia yang diratifikasi pada 1977 juga bisa digugurkan dan dirundingkan kembali secara trilateral bersama Timor Leste," ujar Tanoni.

Dengan mengacu pada berbagai fakta hukum tersebut, ia mengharapkan Presiden SBY dan PM Kevin Rudd segera menyepakati peninjauan kembali permasalahan batas landas kontinen di Laut Timor ini untuk menetapkannya kembali dengan menggunakan prinsip delimitasi yang benar dan adil sesuai dengan menggunakan prinsip-prinsip International yang berlaku demi kesejahteraan bersama.

sumber : http://rohimston.blogspot.com/2010/04/perjanjian-perjanjian-batas-negara.html

Sengketa Ambalat dan Kedaulatan RI












SEJARAH pahit masa lalu kita, Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) jatuh ke tangan Malaysia, merupakan potret buram bangsa Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak kedaulatan bangsa dan integritas teritorial di dunia internasional. Potret buram ini tidak boleh berulang untuk kali kedua. Karena itu, menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah kewajiban bagi semua bangsa Indonesia.

Kini kita dikagetkan kembali oleh pemberitaan berbagai media massa yang memuat persoalan wilayah perairan yang telah menjadi sengketa antara kedua negara, Indonesia dan Malaysia. Wilayah yang disengketakan tersebut tidak lain adalah di kawasan Ambalat, sebelah timur kepala Pulau Kalimantan, yang juga masih di perairan Laut Sulawesi. Negara Jiran itu tiba-tiba mengklaim wilayah Indonesia merupakan wilayah perairan mereka.

Klaim Malaysia itu muncul setelah Petronas (perusahaan minyak nasional pemerintah Malaysia), pada 16 Februari lalu memberikan konsesi eksplorasi minyak dan gas lepas pantai di blok Ambalat kepada perusahaan multinasional Shell. Padahal sudah menjadi rahasia umum, perairan tersebut masih merupakan wilayah perairan Indonesia. Pemerintah Indonesia juga telah memberikan konsesi di wilayah yang sama kepada ENI (Italia) pada tahun 1999 dan Unocal (AS) di tahun 2004. Akhirnya, ketegangan antara kedua belah pihak tidak bisa dihindari.

Kekagetan ini kiranya cukup argumentatif sebab selama ini persoalan Ambalat tidak pernah menjadi sengketa (dispute) antara kedua negara anggota ASEAN itu. Bahkan selama ini pula negara yang baru saja selesai memberikan amnesti terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) itu tidak pernah mengklaim wilayah tersebut sebagai teritorial mereka. Oleh karena itulah, Blok East Ambalat tegas-tegas merupakan wilayah Indonesia.

Di sinilah kekagetan dan kecurigaan kita menemukan dalil sahihnya. Apalagi pernyataan PM. Malaysia Abdullah Badawi yang mengklaim Ambalat adalah wilayah Malaysia hanya didasarkan kepada alasan bahwa Petronas sudah melakukan eksplorasi di wilayah itu. Alasan ini tentunya sangat tidak bisa diterima sebab sama sekali tidak logis.

Sikap Tegas

Bersikap tegas terhadap Malaysia dalam persoalan sengketa Pulau Ambalat dan Ambalat Timur kiranya merupakan pilihan relevan yang harus direalisasikan sampai kapan pun. Hal ini menjadi urgen jika kita tidak ingin sejarah buram jatuhnya Pulau Sipadan dan Ligitan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) ke tangan Malaysia terulang kembali dalam konteks kekinian.

Sikap tegas kita adalah sebuah keniscayaan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Sikap tegas ini tidak hanya diperlukan dalam persoalan sengketa Pulau Ambalat saja. Di pulau-pulau terpencil di wilayah perbatasan pun perlu diprioritaskan digelar kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pilihan ini semata-mata untuk menjaga kedaulatan kita sebagai sebuah bangsa yang telah merdeka sejak 17 Agustus 1945 silam. Kita kaya akan pulau-pulau terpencil yang harus kita jaga secara ketat dan berkesinambungan.

Bila pulau-pulau kecil itu tidak kita jaga secara baik, orang lain akan masuk dengan seenaknya. Cepat atau lambat, seiring dengan bergulirnya waktu, mereka akan mengklaim secara de facto wilayah itu sebagai milik mereka.

Itulah yang sebenarnya terjadi dengan kasus Sipadan dan Ligitan tahun 2002 dulu. Satu-dua orang asing mulai masuk ke sana karena dirasa baik dan patroli dari pihak kita pun tidak pernah dilakukan. Hal itu terjadi sejak zaman kolonial. Padahal di zaman kolonial, Sipadan dan Ligitan merupakan bagian wilayah Hindia Belanda, Indonesia (Theo L Sambuaga, 2005).

Kiranya sudah tepat apa yang dilakukan oleh TNI AL dan AU yang meningkatkan patroli laut dan udara dengan mengerahkan tiga kapal perang TNI AL serta dua pesawat intai Nomad di kawasan Ambalat itu. Bahkan Kepala Staf Gugus Tempur Laut Armada Kawasan Timur (Guspurlatim) Kol (P) Marsetio menegaskan, Guspurlatim telah menyiagakan tujuh kapal perang berbagai kelas untuk menjaga kedaulatan RI di perairan Tanjung Unarang hingga Blok Ambalat dan Bukat di Laut Sulawesi yang diklaim sepihak oleh Malaysia .

Tujuh kapal perang yang dimaksud adalah KRI Singa, KRI Tongkol, dan KRI KS Tubun, KRI Nuku, KRI Wiratno, dan KRI Rencong serta ditambah KRI lain yang belum ditentukan sebab baru akan tiba Senin pagi (Media Indonesia, 7/3).

Beberapa kapal perang itu juga bertugas mengawal pemasangan rambu mercu suar di perairan Karang Unarang yang diklaim Malaysia, di kawasan perairan tersebut yang beberapa waktu yang lalu dihentikan. Penjagaan pemasangan rambu mercu suar penting dilakukan sebab pada Januari lalu pekerja dari CV Azza ditangkap dan dianiaya oleh tentara Malaysia saat memasang rambu suar atas pesanan Dephub RI. Merupakan tugas negara dalam hal ini TNI untuk menjaga kedaulatan serta warga negaranya.

Seandainya kapal-kapal Malaysia masih bandel, maka TNI AL dan AU harus tegas menjaga kedaulatan wilayah RI. Tidak ada sejengkal wilayah Indonesia yang harus lepas dan jatuh ke tangan pihak asing. Itu adalah hak kita yang sejatinya kita jaga dan perjuangkan.

Diplomasi

Selama ini pemerintah Indonesia dan Malaysia masih tetap menomorsatukan semangat ASEAN dalam penyelesaian sengketa wilayah Ambalat tersebut. Sikap tegas pemerintah Indonesia tidak harus berarti kontak fisik atau perang. Namun jika masih memungkinkan perlu ditempuh melalui jalur diplomasi di meja perundingan yang lebih arif. Hal ini sesuai dengan keinginan kedua belah pihak yang telah menyatakan agar masalah mereka diselesaikan lewat jalur diplomatik sehingga tidak menambah ketegangan antar-keduanya.

Sebagai sesama anggota ASEAN dan juga kawasan serumpun, tentunya kita menyambut baik semangat keakraban dalam penyelesaiannya itu. Apalagi ketegangan di perairan itu yang melibatkan tentara kedua negara juga bukan satu-satunya solusi mutlak untuk menyelesaikannya.

Namun demikian, dalam hal ini kita juga harus mengingatkan pemerintah agar tetap bersikap tegas terhadap pemerintah Malaysia. Tidak hanya di perairan yang disengketakan, tapi juga di meja diplomatik untuk menegaskan bahwa kawasan tersebut adalah wilayah kita, bangsa Indonesia.

Dalam konteks kasus Ambalat ini, jika dialog betul-betul dilaksanakan, maka hal itu harus dalam pengertian bahwa Ambalat adalah bagian wilayah NKRI yang mesti kita dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Di meja diplomasi, kita pertegas bahwa wilayah itu milik kita. Bukan milik mereka seperti yang telah diklaim selama ini.

Klaim dan tindakan Malaysia masuk ke Ambalat sangat kentara telah melanggar kedaulatan Republik Indonesia. Meski apa pun alasannya, Malaysia tidak memiliki hak sama sekali dalam memberikan konsesi apa pun kepada siapa pun di wilayah tersebut. Karena wilayah itu adalah bukan milik mereka.

Sebagai cacatan penutup, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) ke Malaysia itu harus menjadi pelajaran berharga dalam sejarah bangsa Indonesia yang tidak boleh terjadi kembali. Kita tentunya tidak rela bila kejadian menyedihkan itu terulang kembali pada kasus sengketa Pulau Ambalat ini. Segala sesuatu, termasuk Pulau Ambalat, yang menjadi milik kita bersama sebagai sebuah bangsa Indonesia harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.

SEJARAH pahit masa lalu kita, Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) jatuh ke tangan Malaysia, merupakan potret buram bangsa Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak kedaulatan bangsa dan integritas teritorial di dunia internasional. Potret buram ini tidak boleh berulang untuk kali kedua. Karena itu, menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah kewajiban bagi semua bangsa Indonesia.

Kini kita dikagetkan kembali oleh pemberitaan berbagai media massa yang memuat persoalan wilayah perairan yang telah menjadi sengketa antara kedua negara, Indonesia dan Malaysia. Wilayah yang disengketakan tersebut tidak lain adalah di kawasan Ambalat, sebelah timur kepala Pulau Kalimantan, yang juga masih di perairan Laut Sulawesi. Negara Jiran itu tiba-tiba mengklaim wilayah Indonesia merupakan wilayah perairan mereka.

Klaim Malaysia itu muncul setelah Petronas (perusahaan minyak nasional pemerintah Malaysia), pada 16 Februari lalu memberikan konsesi eksplorasi minyak dan gas lepas pantai di blok Ambalat kepada perusahaan multinasional Shell. Padahal sudah menjadi rahasia umum, perairan tersebut masih merupakan wilayah perairan Indonesia. Pemerintah Indonesia juga telah memberikan konsesi di wilayah yang sama kepada ENI (Italia) pada tahun 1999 dan Unocal (AS) di tahun 2004. Akhirnya, ketegangan antara kedua belah pihak tidak bisa dihindari.

Kekagetan ini kiranya cukup argumentatif sebab selama ini persoalan Ambalat tidak pernah menjadi sengketa (dispute) antara kedua negara anggota ASEAN itu. Bahkan selama ini pula negara yang baru saja selesai memberikan amnesti terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) itu tidak pernah mengklaim wilayah tersebut sebagai teritorial mereka. Oleh karena itulah, Blok East Ambalat tegas-tegas merupakan wilayah Indonesia.

Di sinilah kekagetan dan kecurigaan kita menemukan dalil sahihnya. Apalagi pernyataan PM. Malaysia Abdullah Badawi yang mengklaim Ambalat adalah wilayah Malaysia hanya didasarkan kepada alasan bahwa Petronas sudah melakukan eksplorasi di wilayah itu. Alasan ini tentunya sangat tidak bisa diterima sebab sama sekali tidak logis.

Sikap Tegas

Bersikap tegas terhadap Malaysia dalam persoalan sengketa Pulau Ambalat dan Ambalat Timur kiranya merupakan pilihan relevan yang harus direalisasikan sampai kapan pun. Hal ini menjadi urgen jika kita tidak ingin sejarah buram jatuhnya Pulau Sipadan dan Ligitan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) ke tangan Malaysia terulang kembali dalam konteks kekinian.

Sikap tegas kita adalah sebuah keniscayaan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Sikap tegas ini tidak hanya diperlukan dalam persoalan sengketa Pulau Ambalat saja. Di pulau-pulau terpencil di wilayah perbatasan pun perlu diprioritaskan digelar kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pilihan ini semata-mata untuk menjaga kedaulatan kita sebagai sebuah bangsa yang telah merdeka sejak 17 Agustus 1945 silam. Kita kaya akan pulau-pulau terpencil yang harus kita jaga secara ketat dan berkesinambungan.

Bila pulau-pulau kecil itu tidak kita jaga secara baik, orang lain akan masuk dengan seenaknya. Cepat atau lambat, seiring dengan bergulirnya waktu, mereka akan mengklaim secara de facto wilayah itu sebagai milik mereka.

Itulah yang sebenarnya terjadi dengan kasus Sipadan dan Ligitan tahun 2002 dulu. Satu-dua orang asing mulai masuk ke sana karena dirasa baik dan patroli dari pihak kita pun tidak pernah dilakukan. Hal itu terjadi sejak zaman kolonial. Padahal di zaman kolonial, Sipadan dan Ligitan merupakan bagian wilayah Hindia Belanda, Indonesia (Theo L Sambuaga, 2005).

Kiranya sudah tepat apa yang dilakukan oleh TNI AL dan AU yang meningkatkan patroli laut dan udara dengan mengerahkan tiga kapal perang TNI AL serta dua pesawat intai Nomad di kawasan Ambalat itu. Bahkan Kepala Staf Gugus Tempur Laut Armada Kawasan Timur (Guspurlatim) Kol (P) Marsetio menegaskan, Guspurlatim telah menyiagakan tujuh kapal perang berbagai kelas untuk menjaga kedaulatan RI di perairan Tanjung Unarang hingga Blok Ambalat dan Bukat di Laut Sulawesi yang diklaim sepihak oleh Malaysia .

Tujuh kapal perang yang dimaksud adalah KRI Singa, KRI Tongkol, dan KRI KS Tubun, KRI Nuku, KRI Wiratno, dan KRI Rencong serta ditambah KRI lain yang belum ditentukan sebab baru akan tiba Senin pagi (Media Indonesia, 7/3).

Beberapa kapal perang itu juga bertugas mengawal pemasangan rambu mercu suar di perairan Karang Unarang yang diklaim Malaysia, di kawasan perairan tersebut yang beberapa waktu yang lalu dihentikan. Penjagaan pemasangan rambu mercu suar penting dilakukan sebab pada Januari lalu pekerja dari CV Azza ditangkap dan dianiaya oleh tentara Malaysia saat memasang rambu suar atas pesanan Dephub RI. Merupakan tugas negara dalam hal ini TNI untuk menjaga kedaulatan serta warga negaranya.

Seandainya kapal-kapal Malaysia masih bandel, maka TNI AL dan AU harus tegas menjaga kedaulatan wilayah RI. Tidak ada sejengkal wilayah Indonesia yang harus lepas dan jatuh ke tangan pihak asing. Itu adalah hak kita yang sejatinya kita jaga dan perjuangkan.

Diplomasi

Selama ini pemerintah Indonesia dan Malaysia masih tetap menomorsatukan semangat ASEAN dalam penyelesaian sengketa wilayah Ambalat tersebut. Sikap tegas pemerintah Indonesia tidak harus berarti kontak fisik atau perang. Namun jika masih memungkinkan perlu ditempuh melalui jalur diplomasi di meja perundingan yang lebih arif. Hal ini sesuai dengan keinginan kedua belah pihak yang telah menyatakan agar masalah mereka diselesaikan lewat jalur diplomatik sehingga tidak menambah ketegangan antar-keduanya.

Sebagai sesama anggota ASEAN dan juga kawasan serumpun, tentunya kita menyambut baik semangat keakraban dalam penyelesaiannya itu. Apalagi ketegangan di perairan itu yang melibatkan tentara kedua negara juga bukan satu-satunya solusi mutlak untuk menyelesaikannya.

Namun demikian, dalam hal ini kita juga harus mengingatkan pemerintah agar tetap bersikap tegas terhadap pemerintah Malaysia. Tidak hanya di perairan yang disengketakan, tapi juga di meja diplomatik untuk menegaskan bahwa kawasan tersebut adalah wilayah kita, bangsa Indonesia.

Dalam konteks kasus Ambalat ini, jika dialog betul-betul dilaksanakan, maka hal itu harus dalam pengertian bahwa Ambalat adalah bagian wilayah NKRI yang mesti kita dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Di meja diplomasi, kita pertegas bahwa wilayah itu milik kita. Bukan milik mereka seperti yang telah diklaim selama ini.

Klaim dan tindakan Malaysia masuk ke Ambalat sangat kentara telah melanggar kedaulatan Republik Indonesia. Meski apa pun alasannya, Malaysia tidak memiliki hak sama sekali dalam memberikan konsesi apa pun kepada siapa pun di wilayah tersebut. Karena wilayah itu adalah bukan milik mereka.

Sebagai cacatan penutup, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) ke Malaysia itu harus menjadi pelajaran berharga dalam sejarah bangsa Indonesia yang tidak boleh terjadi kembali. Kita tentunya tidak rela bila kejadian menyedihkan itu terulang kembali pada kasus sengketa Pulau Ambalat ini. Segala sesuatu, termasuk Pulau Ambalat, yang menjadi milik kita bersama sebagai sebuah bangsa Indonesia harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.

sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/08/opi03.htm

Kecelakaan Pesawat di Indonesia Tertinggi di Asia














Frekwensi kecelakaan pesawat terbang niaga komersial Indonesia tertinggi di Asia atau rata-rata sembilan kali per tahun. Sedangkan di negara Asia lain hanya 3-4 kali setahun. Kecelakaan yang dimaksud adalah kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa, luka-luka, dan fisik pesawat rusak serius.

Kepala Subdirektorat Perawatan Pesawat Departemen Perhubungan, Yurlis Hasibuan, angka itu merupakan kesimpulan penelitian lembaga penerbangan sipil Internasional. "Di Eropa dan Amerika, rata-rata kecelakaan 1-2 kali per tahun," kata dia di Jakarta pekan lalu.

Secara keseluruhan, kata Yurlis, rasio kecelakaan pesawat skala berat sampai ringan di Indonesia mencapai 21 kali per tahun dari total frekwensi keberangkatan pesawat 323.400 kali. Kesimpulan Asosiasi Maskapai Sipil International (IATA) juga tidak jauh berbeda.

IATA menyimpulkan tingkat keamanan penerbangan di Indonesia rendah sebesar 1,3, jauh dari standar ideal 0,35. Standar penerbangan di Cina sangat baik mencapai 0,0. Negara di Eropa 0,3, Amerika 0,2, Timur Tengah 3,8, Amerika latin 2,6. "Semakin besar angkanya, semakin jelek standar keamanannya," kata Yurlis.

sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2006/07/17/brk,20060717-80222,id.html

Dampak Globalisasi terhadap Nasionalisme
















Munculnya globalisasi tentunya membawa dampak bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Dampak globalisasi tersebut meliputi dampak positif dan dampak negatif di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan berdampak kepada nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.


Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme

1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.

2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.

3. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.

· Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme

1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang

2. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.

3. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.

4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.

5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.

Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.


sumber : http://kang-adek.blogspot.com/2009/01/dampak-globalisasi-terhadap.html

SEJARAH WAYANG KULIT











WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In­donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem­perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.

Asal Usul

Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.

Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.

Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe­wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.

Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo­nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur­nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In­dia, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa­yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah per­tunjukan wayang.

Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis­toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone­sia halaman 987.

Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewa­yangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.

Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita­cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.

Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.

Dan di wilayah Kulonprogo sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga biasa di gunakan dalam acara-acara tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di wilayah kota Wates ataupun di daerah pelosok di Kulonprogo.

sumber : http://budayawayangkulit.blogspot.com/2009/01/wayang-kulit-wayang-salah-satu-puncak.html

kebangsaan dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia









Baru seminggu yang lalu Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke 61. Namun selalu saja beritanya disoroti dengan terpuruknya rasa kebanggaan dan kebangsaan Indonesia. Termasuk Polling di Kompas.com (status 25/8/06 jam 11.30 adalah 34 % Bangga dan 66 % Tidak dari 30.958 responden.). Di pojok kota Jakarta penjual bendera saat ini barangkali sedang menghitung hasil penjualannya, yg mungkin saja keuntungannya menurun sesuai dengan polling itu … ah aku tak tahu.

Di seberang pulau lain di kota Kualalumpur, saat ini sedang menyambut perayaan kemerdekaan Malaysia yang ke 49 tanggal 31 Agustus nanti. Persiapan sudah terlihat disana sini bahkan dibeberapa tempat penjualan pom bensin dibagikan gratis bendera, sebagai penghias mobil.
Bendera dibagi gratis ?
Iya …. “gratis” setelah membeli bensin (petrol) tentusaja. Tapi tidak perlu membeli dari kocek sendiri.
Tidak ada penjual bendera, tidak ada terlihat penjual tiang bendera di Kualalumpur ini, tidak seperti Jakarta ….

Nah rakyat yang mana yang masih memilki rasa kebangsaan, kebanggaan untuk “membeli” bendera sendiri ?

Ah, masak sih rasa bangga dan kebangsaan hanya ditunjukin dengan membeli bendera ?
Buat aku sih iya … oarang Indonesia memiliki rasa kebanggsaan lebih dari Malaysia … aku kampungan ya ? ….. mungkin anda berpikir lain, ya jelas ndak apa-apa berpikir lain … tapi itu lah demokrasi yg ada di Indonesia. Kita diberi hak untuk berpikir berbeda … walaupun sekedar soal kebanggaan yg diekspresikan dengan membeli bendera.

sumber : http://rovicky.wordpress.com/2006/08/25/kebangsaan-dan-kebanggaan-sebagai-bangsa-indonesia/