Lepas dari krisis ekonomi tampaknya belum dapat membawa bangsa Indonesia bernapas lega, menikmati hidup yang sejahtera, bebas dari berbagai masalah dan tekanan hidup yang berat. Krisis dalam berbagai dimensi masih saja harus kita hadapi.
Dari krisis bahan bakar minyak (BBM) yang membuat kita harus antre atau tidak bisa mendapatkannya untuk berhari-hari, krisis minyak goreng-- sempat ada antrean untuk mendapatkan minyak goreng dari pemerintah--, krisis mini valuta asing-- rupiah sempat tembus Rp12.000 untuk tiap dolar AS pada Agustus 2005-- hingga krisis listrik yang mencapai puncaknya sekarang ini.
Berbagai krisis atau situasi yang dianggap kritis tadi semuanya membuat kita paling tidak merasa tidak nyaman, bahkan untuk sebagian besar masyarakat lain jelas membuat kehidupan semakin berat, aktivitas ekonominya terganggu atau tidak dapat dijalankan sehingga akhirnya masyarakat harus menderita. Krisis listrik sebenarnya tidak perlu terjadi jika berbagai paket kebijakan yang sudah diluncurkan pemerintah diimplementasi dengan baik.
Namun sayangnya pemerintah meskipun sudah meluncurkan paket kebijakan yang terkait dengan pembangunan infrastruktur, bahkan menyelenggarakan Infrastructure Summit secara internasional sampai dua kali di Jakarta, tetap saja tidak dapat menghindari krisis listrik. Bahkan masalah listrik yang semakin berat harus kita hadapi dari tahun ke tahun, mencapai puncaknya sekarang ini, atau bisa lebih buruk?
Oleh karena itulah pemerintah tampaknya pada akhirnya mengambil kebijakan yang keras dengan pengalihan hari kerja industri melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri yang diluncurkan pada 14 Juli 2008 lalu. Padahal kebijakan ini meskipun mungkin dapat mengurangi beban listrik terpakai pada saat-saat tertentu, tetapi berpotensi menimbulkan dampak sampingan yang banyak sehingga jika tidak hati-hati justru akan kontraproduktif.
Masalah Lama
Masalah kekurangan listrik sebenarnya lagu lama Indonesia, yang pada waktu krisis ekonomi--karena keterbatasan anggaran-- tidak mendapatkan prioritas dalam APBN sehingga konsumsi listrik per kapita kita pada tahun 2004 masih sangat rendah, yaitu 478 kwh. Jika dibandingkan dengan negara lain, kita sangat ketinggalan.
Malaysia saja sudah mencapai hampir 6 kali kita atau sebesar 3.166 kwh, Filipina mencapai 597 kwh, Singapura 8.170 kwh, Thailand 1.865 kwh, bahkan Vietnam saja 501 kwh pada tahun yang sama. Ini berarti kondisi kelistrikan Indonesia terburuk dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita. Tingkat konsumsi kita hanya sedikit di atas rata-rata low income countries yang sebesar 375 kwh, namun jauh di bawah rata-rata low middle income countriesyang sebesar 1.243 kwh per kapita pada periode yang sama (Bank Dunia, 2007).
Dengan potret seperti itu, sebenarnya yang dilakukan pemerintah dengan membuat paket kebijakan infrastruktur dan Infrastructure Summit adalah sudah benar. Namun sayangnya pemerintah tidak mampu mengimplementasikan dengan baik berbagai kebijakan tersebut sehingga dapat kita lihat hasilnya, masalah kelistrikan bukannya semakin terurai, tetapi justru semakin kusut. Pada akhirnya kita harus membayar mahal krisis listrik yang parah pada saat ini. Jelas menarik bagi kita untuk menganalisis pihak yang mestinya bertanggung jawab.
Lebih penting lagi adalah mengurai cara mengatasi masalah ini agar dampaknya pada kehidupan masyarakat dan dunia usaha minimal serta menghindari masalah yang tidak terjadi lagi. Tentu Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang memiliki monopoli dalam mendistribusikan listrik pada masyarakat akan lebih banyak menerima kemarahan publik.
Semuanya berhulu pada ketidakmampuan PLN dalam melayani pasokan listrik dengan baik dan mengantisipasi peningkatan permintaan listrik yang semakin tinggi. Namun, kita harus ingat, kemampuan PLN juga terbatas karena terbatasnya anggaran PLN dan kewenangannya. Untuk dapat mengatasi krisis listrik ini jelas perlu anggaran yang besar. Itu di luar kemampuan PLN.
Tentu saja pihak swasta bisa juga membantu pendanaan pembangkit listrik kita dengan berbagai skema yang memungkinkan. Demikian pula jelas bahwa pada akhirnya masalah kurangnya pasokan listrik menjadi tanggung jawab pemerintah. Sayangnya, meskipun pemerintah sudah memiliki paket kebijakan yang bagus, hal itu tidak dapat diimplementasikan dengan baik.
Tentu saja kenaikan harga BBM bisa dijadikan kambing hitam, tetapi tetap saja adalah tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan infrastruktur seperti listrik yang sangat strategis bagi kehidupan bangsa pada saat ini (apalagi negara lain tidak menghadapi krisis listrik seperti kita).
Masalah infrastruktur selama ini tidak menjadi prioritas dalam APBN kita. Padahal setelah ekonomi pulih sejak 2004, keuangan negara sudah semakin ringan bebannya-- meskipun masih berat--sehingga mestinya pemerintah dapat mengalokasikan lebih banyak dana untuk membangun infrastruktur seperti listrik. Krisis pasokan listrik ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memberikan prioritas dalam membenahi masalah kelistrikan.
Masalah fiscal trap yang dikhawatirkan dalam beberapa tahun ini tampaknya sudah menjadi kenyataan. Anggaran pemerintah dari pusat sampai daerah cenderung banyak dialokasikan untuk program yang populis, khususnya mendekati tahun pemilu. Akhirnya anggaran untuk pembangunan seperti infrastruktur (termasuk listrik) ataupun pembangunan sumber daya manusia yang perlu anggaran besar-- tetapi hasilnya tidak langsung kelihatan-- kurang mendapatkan prioritas. Pola itu membuat kita terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan karena praktik itu terus kita lakukan.
Kita harus memutuskan rantai tersebut. Mudah-mudahan pihak-pihak yang memiliki otoritas memiliki cukup wisdom untuk memilih yang terbaik bagi bangsa dan negara ini dalam politik anggaran kita sehingga dapat memutus lingkaran setan tersebut.
sumber : http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/07/17/212/128371/mengurai-lingkaran-setan-masalah-listrik